BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pendidikan tentu saja tidak dapat dilepaskan dari kegiatan belajar yang dialami oleh pebelajar itu sendiri. Belajar tidak hanya terjadi dalam pendidikan formal atau pendidikan dalam sebuah lembaga tertentu semata, melainkan proses belajar tersebut juga dapat dialami dalam kehidupan sehari-hari baik itu dalam keluarga, maupun masyarakat. Gagne (dalam Panen, 2005:1.2) menyatakan bahwa “learning is a change in human disposition or capability that persists over a period of time and is not simply ascribable to processes of growth”. Belajar adalah suatu perubahan dalam kemampuan yang bertahan lama dan bukan berasal dari proses pertumbuhan. Slavin (dalam Trianto, 2010:16) mengemukakan mengenai definisi belajar sebagai:
Learning is usually defined as a change in a individual caused by experience. Changes caused by development (such as growing taller) are not instances of learning. Neither are characteristrics of individuals that are present at birth (such as reflexes and respons to hunger or pain). However, humans do so much learning from the day of their birth (and some say earlier) that learning and development are inseparably linked.
Belajar secara umum diartikan sebagai perubahan pada individu yang terjadi melalui pengalaman dan bukan karena pertumbuhan dan perkembangan tubuhnya atau karakteristik seseorang sejak lahir. Manusia banyak belajar sejak lahir dan bahkan ada yang berpendapat sebelum lahir, bahwa antara belajar dengan perkembangan sangat erat kaitannya. Dari pendapat-pendapat di atas, dapat diketahui bahwa belajar merupakan perubahan tingkah laku yang terjadi pada individu sebagai akibat dari pengalamannya dan biasanya perubahan tingkah lakunya tersebut akan bertahan lama.
Sejak dahulu hingga saat ini, para ahli terus mencari dan berusaha menemukan makna sesungguhnya dari proses belajar yang terjadi pada manusia itu sendiri. Selain mencari makna sesungguhnya dari kegiatan belajar tersebut, para ahli juga berusaha merumuskan teori-teori belajar menurut analisisnya dari hasil penelitian yang mereka lakukan. Teori belajar merupakan upaya untuk mendeskripsikan bagaimana manusia belajar, sehingga membantu kita semua memahami proses inhern yang kompleks dari belajar. Dengan munculnya berbagai teori belajar dari para ahli tersebut, tentu akan mempengaruhi pola dan kebijakan pendidikan yang diterapkan pemerintah pada saat itu pula. Bermunculannya berbagai teori belajar ini menimbulkan pula aliran-aliran belajar, seperti aliran behaviorisme, humanisme, kognitivisme, konstruktivisme, dan lain sebagainya. Aliran-aliran dalam teori belajar tersebut memiliki pandangan serta konsep yang berbeda satu dengan yang lainnya mengenai hakekat belajar itu sendiri.
Manusia sering dikatakan sebagai mahluk monodualisme, ini dikarenakan manusia selain sebagai mahluk individu juga sebagai mahluk sosial. Manusia selain sebagai mahluk individual yang memiliki kehidupan sendiri, manusia juga tidak dapat dilepaskan dari hubungan dan peran sertanya dengan kehidupan bermasyarakat/sosial. Begitu halnya dalam kegiatan belajar, manusia tidak bisa dilepaskan dalam peranannya sebagai mahluk sosial. Kegiatan belajar di sekolah merupakan miniatur dari kehidupan pebelajar di lingkungan masyarakatnya. Pebelajar kadangkala secara tidak langsung belajar dari model-model yang mereka amati baik di lingkungan sekolah maupun masyarakat. Model yang dimaksud seperti teman sebaya, teman yang lebih tua, orang tua, guru, dan lain sebagainya. Dengan mengamati model tersebut, maka terjadi proses belajar pada pebelajar baik saat mereka meniru ataupun tidak meniru model yang mereka amati. Hakekat proses belajar seperti ini sesuai dengan salah satu teori belajar yang dicetuskan oleh Albert Bandura yaitu teori belajar sosial.
Teori belajar sosial yang dikemukakan oleh Albert Bandura merupakan salah satu teori belajar yang dikembangkan dari teori belajar behavioristik. Seperti halnya dengan teori belajar dari para tokoh lainnya, Albert Bandura juga berusaha merumuskan hakekat bagaimana manusia itu belajar. Teori belajar sosial Bandura sering disebut sebagai teori pembelajaran observasi (observational learning). Hal ini dikarenakan konsep utama dari teori belajar yang dikemukakan oleh Albert Bandura adalah mengenai manusia pada hakekatnya belajar dari kegiatan sosial (interaksi dengan individu yang lainnya) melalui pengamatan terhadap orang lain yang sedang melakukan tindakan atau belajar tanpa melakukan tindakan tersebut sendiri terlebih dahulu dan tanpa secara langsung mendapatkan reinforcement dan hukuman atas perilaku tersebut.
Dari paparan di atas, maka pada makalah ini akan dicoba diangkat dan dibahas sebuah tema mengenai salah satu teori belajar yang ada, yaitu “Teori Belajar Sosial Bandura”.
1.2 Rumusan Masalah
Masalah-masalah yang akan dibahas pada makalah ini antara lain sebagai berikut.
1.2.1 Bagaimanakah latar belakang munculnya teori belajar sosial Bandura?
1.2.2 Apakah prinsip-prinsip yang mendasari teori belajar sosial Bandura?
1.2.3 Bagaimanakah pembelajaran pengamatan (Observational Learning) dalam teori belajar sosial Bandura tersebut?
1.2.4 Apakah konsep-konsep penting dalam kepribadian menurut Bandura?
1.3 Tujuan
Tujuan penulisan makalah mengenai teori pembelajaran sosial Bandura ini adalah sebagai berikut.
1.3.1 Untuk mengetahui latar belakang munculnya teori belajar sosial Bandura.
1.3.2 Untuk mengetahui prinsip-prinsip yang mendasari teori belajar sosial Bandura.
1.3.3 Untuk mengetahui pembelajaran pengamatan (Observational Learning) dalam teori belajar sosial Bandura.
1.3.4 Untuk mengetahui konsep-konsep penting dalam kepribadian menurut Bandura.
1.4 Manfaat
Adapun manfaat yang diperoleh dari penulisan makalah ini adalah dapat menambah wawasan dan pandangan bagi pembaca dan penulis mengenai teori belajar sosial Bandura dan hakekat bagaimana proses belajar pada manusia itu terjadi. Dengan mengetahui dan memahami perkembangan teori belajar tersebut, maka penulis ataupun pembaca dapat menjadikan wawasan ini sebagai landasan dan mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata. Sehingga dapat bermanfaat bagi masyarakat secara luas.
BAB II
PEMBAHASAN
Pada bab ini akan dibahas mengenai beberapa hal penting tentang “Teori Belajar Sosial Bandura”. Berikut ini akan dijelaskan secara singkat mengenai teori belajar sosial dalam sebuah bagan di bawah ini (Gambar 2.1).
Gambar 2.1 Gambaran secara Umum Teori Belajar Sosial Bandura
2.1 Latar Belakang Munculnya Teori Belajar Sosial Bandura
Teori pembelajaran sosial adalah perkembangan utama dari tradisi teori pembelajaran perilaku (behavioristik). Teori belajar sosial dikemukakan oleh seorang tokoh yang bernama Albert Bandura yang lahir pada tahun 1925 di sebuah kota kecil di provinsi Alberta, Canada. Teori pembelajaran sosial (social learning theory) dari Albert Bandura menerima kebanyakan prinsip teori perilaku (behavioristik), tetapi terfokus jauh lebih banyak pada efek isyarat pada perilaku dan pada proses mental internal, dengan menekankan efek pemikiran pada tindakan dan tindakan pada pemikiran. Pada saat Bandura melakukan percobaan-percobaan mengenai teori belajar sosial, waktu itu sangat dipengaruhi oleh kelompok-kelompok peneliti dengan aliran teori belajar behavioristik. Bandura melihat bahwa hewan-hewan yang dipergunakan untuk percobaan memperlihatkan tingkah laku sendiri. Artinya tidak ada hewan lain atau dengan kata lain hewan percobaan dari kelompok peneliti dengan aliran teori belajar behavioristik tersebut tidak sosial. Hasil-hasil percobaan dan penelitian para ahli teori belajar behavioristik seperti Skinner dan Thorndike diamalkan pada situasi sosial. Padahal penelitian dan percobaan yang dilakukan oleh Skinner dan Thorndike tidak dalam situasi sosial, sehingga Bandura menganggap bahwa perlu diadakan penelitian lebih lanjut mengenai hal ini. Bandura mengembangkan teori belajar sosial juga karena ia melihat keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki oleh teori belajar behavioristik yang pada saat itu merupakan teori yang diterima oleh banyak kalangan. Bandura (dalam Panen, 2005:4.6) menguraikan hal-hal keterbatasan teori belajar behavioristik yaitu:
a) Teori behavioristik sukar diterapkan pada situasi kehidupan nyata. Tidak mungkin ada satu orang yang terus menerus hadir setiap harinya untuk memberikan hadiah bagi terlihatnya perilaku yang diinginkan guna menjamin meningkatnya frekuensi munculnya perilaku tersebut. Biasanya orang harus mengatur dan mengendalikan perilakunya sendiri.
b) Teori belajar behavioristik tidak menerangkan mengenai terjadinya pembelajaran perilaku baru. Kadang-kadang kita melihat orang melakukan suatu tindakan yang belum pernah dilakukan sebelumnya.
c) Teori belajar behavioristik hanya dapat menerangkan pembelajaran langsung (direct learning), di mana konsekuensi diberikan segera setelah perilaku belajar terjadi, tidak untuk pemadanan yang tertunda (delayed matching), di mana konsekuensi diberikan kemudian. Sering terjadi suatu perilaku telah terpelajari tetapi belum segera ditampakkan, dampak belajar mungkin belum terjadi segera sampai waktu kemudian.
Untuk mengatasi keterbatasan-keterbatasan teori belajar behavioristik tersebut, akhirnya Bandura mengembangkan sebuah teori yang dikenal sebagai “Teori Belajar Sosial”.
2.2 Prinsip-prinsip yang Mendasari Teori Belajar Sosial
Adapun prinsip-prinsip yang mendasari teori belajar sosial yang dikemukakan oleh Bandura, yaitu:
1) prinsip faktor-faktor yang saling menentukan;
2) kemampuan untuk membuat atau memahami simbol/tanda/lambang;
3) kemampuan berfikir kedepan;
4) kemampuan untuk seolah-olah mengalami apa yang dialami oleh orang lain;
5) kemampuan mengatur diri sendiri;
6) kemampuan untuk berefleksi (dalam Panen, 2005).
1) Prinsip faktor-faktor yang saling menentukan
Bandura menyatakan bahwa diri seorang manusia pada dasarnya adalah suatu sistem (sistem diri/self system). Sebagai suatu sistem bermakna bahwa perilaku, berbagai faktor pada diri seseorang, dan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam lingkungan orang tersebut, secara bersama-sama saling bertindak sebagai penentu atau penyebab yang satu terhadap yang lainnya. Berikut ini dijelaskan interaksi berbagai faktor pembentuk sistem diri (self sistem) pada sebuah bagan (Gambar 2.2).
Gambar 2.2 Interaksi Berbagai Faktor Pembentuk Sistem Diri
Keterangan :
P = Singkatan dari Personal atau kepribadian seseorang
B = Singkatan dari Berhavior atau perilaku seseorang
E = Singakatan dari Environment atau lingkungan luar
Sistem yang saling terkait seperti yang ditampilkan dalam bagan di atas menggambarkan ketiga faktor yaitu: faktor kepribadian (Personal), faktor perilaku (Behavior), dan faktor lingkungan (Environment). Sepasang anak panah yang berlawanan arah pada setiap faktor tersebut menunjukkan bahwa setiap faktor tersebut dapat mempengaruhi atau dapat bersifat sebagai penentu terhadap faktor-faktor lainnnya secara timbal balik.
Sebagai contoh, jika seseorang/individu (misalkan bernama Andi) adalah pribadi yang memiliki harapan-harapan dan nilai-nilai di samping gaya pribadi atau kepribadian tertentu, suka tantangan-tantangan intelektual atau berinteraksi dengan orang disekitarnya (P/Personal). Sebagai konsekuensinya Andi melanjutkan pendidikan di sebuah universitas. Karena Andi suka dengan perkuliahan di universitas tersebut, maka Andi menunjukkan prilaku (B/Behavior) yang positif dan penuh semangat dalam mempelajari dan mempraktekkan berbagai mata kuliah yang ia ambil. Rekan-rekan yang ada di tempat kerja Andi dan kelompok tutorial, juga keluarga serta orang-orang di sekitar Andi yang mengetahui kepribadian Andi (P/Personal) akan bereaksi dengan reaksi-reaksi tertentu (E/Environment), misalnya keramahan serta kekaguman akan kemampuan Andi membagi waktu antara kerja, rumah tangga, kuliah, dan bermasyarakat. Mereka juga bereaksi (E/Environment) terhadap perilaku Andi (B/Behavior). Jika Andi melakukan suatu perbuatan aneh atau yang tidak disangka-sangka (B/Behavior), maka mereka akan bereaksi terhadap perbuatan Andi itu. Reaksi mereka itu (E/Environment), secara timbal balik mempengaruhi prilaku Andi (B/Behavior), disamping berdampak pada kepribadian Andi (P/Personal). Jika mereka berhenti bersikap ramah terhadap andi (E/Environment), misalnya karena Andi terlalu sibuk belajar dan bekerja sehingga ia melupakan keluarga atau teman-temannya, Andi mungkin akan menjadi murung (P/Personal), karena keluarga atau teman/tetangganya mulai acuh karena tidak diperhatikan. Jadi, diri Andi adalah suatu sistem dan faktor-faktor di dalam atau di luar dirinya (pribadi, prilaku, lingkungan), berdampak satu terhadap lainnya.
2) Kemampuan untuk membuat atau memahami simbol/tanda/lambang
Bandura menyatakan bahwa orang memahami dunia secara simbolis melalui gambar-gambar kognitif, jadi orang lebih bereaksi terhadap gambaran kognitif dari dunia sekitar dari pada dunia itu sendiri. Artinya, karena orang memiliki kemampuan berfikir dan memanfaatkan bahasa sebagai alat untuk berfikir, maka hal-hal yang telah berlalu dapat disimpan dalam ingatan dan hal-hal yang akan datang dapat pula “diuji” secara simbolis dalam pikiran. Perilaku-perilaku yang mungkin diperlihatkan akan dapat diduga, diharapkan, dikhawatirkan, dan diuji cobakan terlebih dahulu secara simbolis, dalam pikiran, tanpa harus mengalaminya secara fisik terlebih dahulu. Karena pikiran-pikiran yang merupakan simbul atau gambaran kognitif dari masa lalu maupun masa depan itulah yang mempengaruhi atau menyebabkan munculnya perilaku tertentu.
3) Kemampuan berpikir ke depan
Selain dapat digunakan untuk mengingat hal-hal yang sudah pernah dialami, kemampuan berpikir atau mengolah simbol tersebut dapat dimanfaatkan untuk merencanakan masa depan. Orang dapat menduga bagaimana orang lain bisa bereaksi terhadap seseorang, dapat menentukan tujuan, dan merencanakan tindakan-tindakan yang harus diambil untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Inilah yang disebut dengan pikiran ke depan, karena biasanya pikiran mengawali tindakan.
4) Kemampuan untuk seolah-olah mengalami apa yang dialami oleh orang lain
Orang-orang, terlebih lagi anak-anak mampu belajar dengan cara memperhatikan orang lain berperilaku dan memperhatikan konsekuensi dari perilaku tersebut. Inilah yang dinamakan belajar dari apa yang dialami orang lain.
5) Kemampuan mengatur diri sendiri
Prinsip berikutnya dari belajar sosial adalah orang umumnya memiliki kemampuan untuk mengendalikan perilaku mereka sendiri. Seberapa giat orang bekerja dan belajar, berapa jam orang tidur, bagaiamana bersikap di muka umum, apakah orang mengerjakan pekerjaan kuliah dengan teratur, dsb, adalah contoh prilaku yang dikendalikan. Perilaku ini tidak dikerjakan tidak selalu untuk memuaskan orang lain, tetapi berdasarkan standar dan motivasi yang ditetapkan diri sendiri. Tentu saja orang akan berpengaruh oleh perilaku orang lain, namun tanggung jawab utama tetap berada pada diri sendiri.
6) Kemampuan untuk berefleksi
Prinsip terakhir ini menerangkan bahwa kebanyakan orang sering melakukan refleksi atau perenungan untuk memikirkan kemampuan diri mereka pribadi. Mereka umumnya mampu memantau ide-ide mereka dan menilai kepantasan ide-ide tersebut sekaligus menilai diri mereka sendiri. Dari semua penilaian diri sendiri itu, yang paling penting adalah penilaian terhadap beberapa komponen atau seberapa mampu mereka mengira diri mereka dapat mengerjakan suatu tugas dengan sukses.
2.3 Pembelajaran Pengamatan (Observational Learning) dalam Teori Belajar
Sosial Bandura
Karakteristik dari belajar sosial, yang terbukti sangat penting dan efisien adalah seorang dapat belajar dengan cara memperhatikan model beraksi dan membayangkan seolah-olah ia sebagai pengamat, mengalami sendiri apa yang dialami oleh model. Yang disebut model adalah orang-orang yang perilakunya dipelajari atau ditiru oleh orang lain. Dari sudut pandang Bandura, orang/pengamat tidak hanya sekedar meniru perilaku orang lain (model), namun mereka memutuskan dengan sadar untuk melakukan perilaku yang dipelajari dari mengamati model.
Menurut Bandura (dalam Friedman dan Schustack, 2008:281), mengamati model dan mengulangi perilaku yang dilakukan oleh model bukanlah sekedar imitasi sederhana; pembelajaran observasi juga melibatkan proses kognitif aktif yang meliputi 4 komponen yaitu: atensi, retensi, reproduksi dan motivasi. Lebih jauh lagi, analisis Bandura (dalam Slavin, 2008:204) tentang pembelajaran pengamatan (observational learning) menjelaskan mengenai keterlibatan empat fase dalam pembelajaran ini, yaitu: (1) fase perhatian, (2) fase pengingatan, (3) fase reproduksi, dan (4) fase motivasi.
1) Fase Perhatian
Fase pertama dalam pembelajaran pengamatan ialah memberikan perhatian pada orang yang ditiru. Pada umumnya, siswa memberikan perhatian pada panutan yang memikat, berhasil, menarik, dan popular. Sebagai pengamat orang tidak dapat belajar melalui observasi kecuali kaku ia memperhatikan kegiatan-kegiatan yang diperagakan oleh model itu sendiri dan benar-benar memahaminya. Ini tergantung seberapa besar dan menjolok mata perilaku yang diperagakan itu. Perilaku yang sederhana dan menjolok mata lebih mudah diperhatikan daripada yang tidak jelas. Juga tergantung pada apakah si pengamat siap untuk memperhatikan perilaku-perilaku yang diperagakan itu terutama ketika banyak hal lain yang bersaing untuk mendapatkan perhatian si pengamat.
Proses memberikan perhatian tergantung pada kepada kegiatan apa dan siapa modelnya yang bersedia untuk diamati, misalnya jika anak-anak dibesarkan dalam rumah tangga yang selalu bertengkar maka kemungkinan besar mereka akan mudah bertindak kasar dan agresif pula, perilaku yang demikian akan lebih akan lebih menarik perhatian dari anak tersebut. Menurut Panen (2005:4.10) menyatakan bahwa,
Untuk menerapkan teori belajar sosial dan memastikan siswa memberi perhatian yang lebih pada prilaku yang dimodelkan, maka guru sebaiknya mengusahakan untuk: (1) menekankan bagian-bagian penting dari perilaku yang dipelajari untuk memusatkan perhatian siswa, (2) membagi-bagi kegiatan besar menjadi bagian-bagian kecil, (3) memperjelas ketrampilan-ketrampilan yang menjadi komponen-komponen prilaku, (4) memberi kesempatan untuk siswa mempraktikkan hasil pengamatan mereka begitu mereka selesai dengan satu topik.
2) Fase Pengingatan (retensi)
Agar dapat mengambil manfaat dari perilaku orang lain yang telah diamati, seorang pengamat harus dapat mengingat apa yang yang telah dilihatnya. Dia harus mengubah informasi yang diamatinya menjadi bentuk gambaran mental, atau mengubah simbol-simbol verbal, dan kemudian menyimpan dalam ingatannya. Akan sangat membantu apabila kegiatan yang ditiru segera diulanginya atau dipraktekkan setelah pengamatan selesai. Pengamat tidak perlu melakukan pengulangan atau mempraktekkan secara fisik tetati dapat saja secara kognitif, yaitu: membayangkan, memvisualisasikan perilaku tersebut dalam pikirannya.
3) Reproduksi
Komponen ketiga dalam proses peniruan adalah mengubah ide gambaran, atau ingatan menjadi tindakan. Umpan balik terhadap hasil belajar dalam bentuk perilaku yang diperlihatkan oleh pengamat dapat menjadi alat bantu yang penting dalam proses ini. Umpan balik ini dapat dilakukan lewat observasi diri dan masukan dari pelatih, guru, dan modelnya sendiri.
4) Fase Motivasi
Tahap terakhir dalam proses pembelajaran pengamatan ialah motivasi. Orang tidak akan memperagakan atau melaksanakan setiap hal yang dipelajarinya lewat proses pengamatan. Siswa akan meniru orang yang ditiru karena mereka percaya bahwa tindakan seperti itu akan meningkatkan peluang mereka sendiri dikuatkan. Umumnya seorang pengamat akan cenderung untuk memperagakan perilaku yang ditirunya jika hal tersebut menghasilkan hal yang berharga atau diiinginkan oleh pengamat terebut. Pengamat cenderung tidak memperagakan perilaku yang mengakibatkan munculnya hukuman atau bila ia tidak mendapat hadiah dari perbuatan tersebut.
2.4 Konsep-Konsep Penting dalam Kepribadian menurut Bandura
1) Sistem Diri (Self System)
Bandura (dalam Friedman dan Schustack, 2008:276) mengajukan sebuah konsep yang memiliki peran penting dalam kepribadian, yang ia sebut dengan self-system, satu set proses kognitif yang individu gunakan untuk mempersepsi, mengevaluasi, dan meregulasi prilakunya sendiri agar sesuai dengan lingkungannya dan efektif dalam mencapai tujuan yang ingin dicapai. Oleh karena itu, individu tidak hanya dipengaruhi oleh proses reinforcement eksternal yang disediakan lingkungan, tetapi juga oleh ekspektasi, reinforcement, pikiran, rencana, tujuan atau proses internal dari diri. Aspek kognitif yang aktif dalam diri individu sangat penting dalam pembelajaran. Selain berespon terhadap reinforcement langsung dengan mengubah prilaku di masa depan, orang dapat berpikir dan mengantisipasi pengaruh dari lingkungan. Individu dapat mengantisipasi konsekuensi yang mungkin akan timbul dari perilakunya sehingga mereka memilih tindakan berdasarkan respon yang dihadapkan dari lingkungan dan masyarakat.
Walaupun teori pembelajaran klasik mengasumsikan bahwa prilaku seseorang berubah sepanjang waktu karena pengaruh langsung dari reinforcement dan hukuman melalui hubungan stimulus-respons, teori Bandura menyatakan bahwa pengaruh reinforcement sebelumnya akan terinternalisasikan dan perilaku berubah karena berubahnya pengetahuan dan ekspektasi seseorang (Friedman dan Schustack, 2008:276). Pendekatannya memberikan peranan penting pada apa yang disebutnya dengan “human agency”. Kapasitas seseorang untuk mengontrol perilakunya, dan juga mengontrol proses berpikir internal dan motivasinya. Pengetahuan bahwa prilaku tertentu (oleh orang lain atau diri sendiri), pada situasi tertentu, mendapatkan reinforcement di masa lalu membuat individu berharap bahwa perilaku yang sama akan mendapatkan reinforcement pada situasi yang sama (atau serupa) di masa depan. Maka pendekatan ini menggunakan kekuatan pendekatan pembelajaran dan kognitif terhadap kepribadian.
2) Efikasi Diri (Self Efficacy)
Menurut Friedman dan Schustack, (2008:283) self-efficacy adalah ekspektasi keyakinan (harapan) tentang seberapa jauh seseorang mampu melakukan satu perilaku dalam suatu situasi tertenu. Self-efficacy yang positif adalah keyakinan untuk mampu melakukan perilaku yang dimaksud. Tanpa Self-efficacy (keyakinan tertentu yang sangat situasional), orang bahkan enggan mencoba melakukan suatu perilaku. Menurut Bandura (dalam Friedman dan Schustack, 2008:283) menyatakan self-efficacy menentukan apakah kita akan menunjukkan perilaku tertentu, sekuat apa kita dapat bertahan saat menghadapi kesulitan atau kegagalan, dan bagaimana kesuksesan atau kegagalan dalam satu tugas tertentu mempengaruhi perilaku kita di masa depan.
Jika seseorang tidak yakin dapat memproduksi hasil yang mereka inginkan, mereka akan memiliki sedikit motivasi untuk bertindak. Sebagai contoh, dalam satu penelitian, para lulusan bisnis diminta menemukan dan menggunakan aturan manajerial untuk menstimulasi suatu organisasi. Sebagian partisipan diberi tahu bahwa keterampilan yang dibutuhkan bersifat bawaan jika Anda tidak memiliki keterampilan, Anda tidak bisa berhasil. Partisipan ini menurunkan ekspektasi hasil yang akan mereka raih dan tidak menunjukkan performa yang baik. Partisipan lain diberi tahu keterampilan yang dibutuhkan dapat diperoleh dengan latihan; para partisipan ini membuat target yang menantang dan mengembangkan strategi organisasi yang sukses.
Menurut Friedman dan Schustack (2008:283) menyatakan,
keyakinan tentang self-efficacy adalah hasil dari 4 jenis informasi, yaitu: (1) pengalaman kita dalam melakukan perilaku yang diharapkan atau perilaku yang serupa (kesuksesan dan kegagalan di masa lalu); (2) melihat orang lain melakukan perilaku tersebut atau perilaku yang kurang lebih sama (vicarious experience); (3) persuasi verbal (bujukan orang lain yang bertujuan untuk menyemangati atau menjatuhkan performa); dan (4) apa perasaan kita tentang perilaku yang dimaksud (reaksi emosional).
Bandura juga telah mempraktekkan konstruk self-efficacy dalam bidang kesehatan. Self-efficacy terkait dengan aspek fisiologis kesehatan. Orang yang tidak memiliki self-efficacy mengalami stress yang berdampak pada kesehatan dan sistem imunnya. Self-efficacy juga terkait dengan potensi individu untuk berperilaku sehat, orang yang tidak yakin bahwa mereka dapat melakukan suatu perilaku yang dapat menunjang kesehatan akan cenderung enggan mencoba.
3) Regulasi Diri (Self Regulation)
Menurut Friedman dan Schustack (2008:284) menyatakan, regulasi diri adalah proses dimana seseorang dapat mengatur pencapaian dan aksi mereka sendiri, menentukan target untuk diri mereka, mengevaluasi kesuksesan mereka saat mencapai target tersebut, dan memberi penghargaan pada diri mereka sendiri karena telah mencapai tujuan tersebut. Konsep self-efficacy adalah elemen penting dari proses ini, yang mempengaruhi pilihan target dan tingkat pencapaian yang diharapkan. Yang juga penting adalah skema yang individu miliki, yang mendasari bagaimana orang memahami dan berperilaku dalam lingkungannya. Konstruk regulasi diri menitikberatkan pada kontrol internal (interpersonal) perilaku kita. Proses regulasi diri memiliki relevansi yang luas terhadap banyak bidang, terutama bidang kesehatan dan pendidikan, yang merupakan bidang di mana pemahaman yang lebih baik mengenai bagaimana orang melatih kontrol perilaku mereka sendiri akan berdampak pada meningkatnya keberhasilan masyarakat dalam bidang pendidikan dan kesehatan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
3.1.1 Latar belakang munculnya teori belajar sosial Bandura adalah Albert Bandura melihat keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki oleh teori belajar behavioristik yang pada saat itu merupakan teori yang diterima oleh banyak kalangan. Keterbatasan teori belajar behavioristik tersebut antara lain:
a. Teori behavioristik sukar diterapkan pada situasi kehidupan nyata.
b. Teori belajar behavioristik tidak menerangkan mengenai terjadinya pembelajaran perilaku baru.
c. Teori belajar behavioristik hanya dapat menerangkan pembelajaran langsung (direct learning), di mana konsekuensi diberikan segera setelah perilaku belajar terjadi, tidak untuk pemadanan yang tertunda (delayed matching), di mana konsekuensi diberikan kemudian.
3.1.2 Adapun prinsip-prinsip yang mendasari teori belajar sosial yang dikemukakan oleh Bandura, yaitu: (a) prinsip faktor-faktor yang saling menentukan; (b) kemampuan untuk membuat atau memahami simbol/tanda/lambang; (c) kemampuan berfikir kedepan; (d) kemampuan untuk seolah-olah mengalami apa yang dialami oleh orang lain; (e) kemampuan mengatur diri sendiri; (f) kemampuan untuk berefleksi.
3.1.3 Dalam pembelajaran pengamatan (observational learning) terdapat empat fase yang dilalui, yaitu: (1) fase perhatian, (2) fase pengingatan, (3) fase reproduksi, dan (4) fase motivasi.
3.1.4 Konsep-Konsep Penting dalam Kepribadian menurut Bandura meliputi: (1) sistem diri (self system), (2) efikasi diri (self efficacy), dan (3) regulasi diri (self regulation).
3.2 Saran
Dalam proses pembelajaran di sekolah, hendaknya guru selalu menjaga segala tindakan atau sikapnya. Hal ini dikarenakan secara tidak sadar mungkin saja peserta didik akan mengamati tindak tanduk dari gurunya tersebut. Biasanya peserta didik akan meniru perilaku gurunya karena mereka menganggap bahwa guru adalah seseorang yang memiliki status lebih tinggi darinya dan sosok panutan, sehingga kecenderungan ditirunya tindakan dari guru oleh peserta didik cukup tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Panen, Paulina, dkk. 2005. Belajar dan Pembelajaran 1. Jakarta: Universitas
Terbuka.
Slavin, Robert E. 2008. Psikologi Pendidikan Teori dan Praktik. Terjemahan
Samosir, Marianto. 2006. Educational Psycology: Theory and Practice.
Jakarta: PT Indeks.
Friedman, Howard S., and Miriam W. Schustack. 2008. Kepribadian: Teori
Klasik dan Riset Modern. Terjemahan Ikarinim Fansiska Dian, dkk. 2006.
Personality: Classic Theories and Modern Research. Jakarta: Erlangga.
Trianto. 2010. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif: Konsep dan
Landasan, dan Implementasinya pada Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP). Jakarta: Kencana.
Posting Komentar